BERTEOLOGI KONTEKSTUAL TENTANG “TRINITAS”
DALAM KONTEKS MASYARAKAT INDONESIA
Pendahuluan
Banyak kalangan, baik diantara umat Kristen sendiri maupun non-Kristen, terlebih-lebih Islam yang mempertanyakan masalah Trinitas ini. Umat Kristen mempertanyakannya dalam bentuk penjelasan yang lebih mendalam dan aktual, non-Kristen dan terlebih-lebih Islam mempertanyakannya karena tidak mau dan tidak dapat menerima kenyataan, bahwa ada allah lain disamping allah yang esa. Bahkan Islam mengatakan, bahwa orang Kristen telah melakukan dosa syirik, karena mengimani Allah Tritunggal. Dalam Sura 4:48 disebutkan, bahwa Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, sekalipun Tuhan berkenan mengampuni segala dosa selain daripada dosa syirik itu.
Dalam Agama Hindu diajarkan mengenai “Trimurti”, yaitu: Brahma, Wisnu dan Syiwa. Brahma adalah dewa tertinggi dan demi kepentingan pemeliharaan ia menjelma jadi Dewa Wisnu, untuk merusak dalam bentuk dewa Syiwa. Sehingga dengan adanya trinitas dalam agama Kristen tidak dipermasalahkan betul oleh umat Hindu ataupun Budha.
Dengan adanya ‘kritikan’ dan ‘gempuran’ dari saudara-saudara kita non-Kristen, terlebih-lebih dari umat Islam dan juga untuk memperlengkapi umat Kristiani, maka sangat perlu adanya penjelasan yang lebih luas dan mendalam, agar pengertian Trinitas menjadi jelas dan terang, bukan malah meniadakan atau mengubur soal yang satu ini.
1. Sejarah Lahirnya Trinitas
Pada abad ke tiga di Roma muncul PRAXEAS yang mengajarkan bahwa Tuhan Allah adalah Roh. Sebagai Roh, Tuhan Allah disebut Bapa. Allah yang sudah mengenakan daging disebut Anak. Sebenarnya, Anak inilah yang menderita sengsara , sebab Allah Bapa, yang roh adanya tidak dapat menderita. Jelas, bahwa Praxeas mempertahankan keesaan Allah. Tetapi Praxeas hanya menyebut kedwitunggalan antara Allah dan Yesus Kristus. Gereja pada waktu itu menolak ajaran ini.
Sabellius (meninggal tahun 215), mengajarkan bahwa Tuhan Allah adalah Esa. Bapa, Anak dan Roh Kudus adalah modalitas atau cara menampakkan diri dari Tuhan Allah yang Esa itu. Tuhan Allah menampakkan dirinya di dalam wajah Bapa, yaitu sebagai Pencipta dan Pemberi Hukum. Sesudah itu Tuhan Allah menampakkan diriNya dalam wajah Anak, sebagai Juruselamat, akhirnya Tuhan Allah menampakkan diriNya dalam wajah Roh Kudus, sebagai yang menghidupkan..
Oleh Paulus dari Samomata (meninggal tahun 260), Tuhan Allah hanya dapat dipandang sebagai satu pribadi saja, tetapi dalam diri Allah dapat dibedakan antara Logos (Kalam) dan Hikmat. Logos dapat disebut Anak, sedang Hikmat dapat disebut Roh.Tetapi Paulus mempertahankan perbedaan antara Allah Bapa dan Yesus Kristus, keduanya dipisahkan hingga berdiri sendiri-sendiri, tanpa kesatuan. Ia mempertahankan kedwitunggalan dengan melepaskan keesaanNya.
Origenes (meninggal tahun 254), mengatakan Tuhan Allah adalah satu atau esa. Tuhan menjadi sebab segala sesuatu. Logos atau Anak Allah memiliki kedudukan lebih rendah dari Allah, yang melaksanakan semua kehendak Allah, dan Roh Kudus dianggapnya sebagai pemilik pangkat ketiga, yang bertugas menyucikan segala sesuatu.
Di Konsili Nikea (325) dan Konstantinopel (381) gereja menentukan sahadatnya untuk mempertahankan ktritunggalan dalam keesaan dan keesaan dalam ketritunggalan. Bunyi sahadat tersebut demikian:
“Aku percaya kepada satu Allah, Bapa yang mahakuasa, pencipta langit dan bumi, segala yang kelihatan dan tidak kelihatan. Dan kepada satu Tuhan, Yesus Kristus, Anak Allah yang Tunggal, yang lahir dari sang Bapa sebelum ada segala zaman, Allah dari allah, Terang dari terang, Allah sejati dari allah sejati, diperanakkan, bukan dibuat, sehakekat dengan sang Bapa....Aku percaya kepada Roh Kudus, yang jadi Tuhan dan yang menghidupkan, yang keluar dari sang Bapa dan sang Anak......dst.”
Dari perumusan ini jelaslah bahwa dengan tegas diajarkan tentang Allah Tritunggal, Allah Bapa, Anak dan Roh Kudus, yang bersama-sama disembah dan dimuliakan.
Orang yang sangat besar pengaruhnya bagi perumusan ajaran Tritunggal adalah Tertullianus. Ia merumuskan, bahwa Tuhan Allah adalah satu dalam substansinya dan tiga dalam pribadiNya atau oknumNya (una substantia, tres pesonae). Sekalipun gereja pada waktu itu tidak menerima ajaran Tertullianus ini, tetapi perumusannya tentang adanya tiga substansi mempengaruhi pemikiran-pemikiran gereja sesudah zamannya., tetapi tetap tidak memuaskan semua pihak. Setelah Konsili Nikea, masih banyak lagi Bapak-bapak gerejawi mencoba menyempurnakan ajaran tritunggal, diantaranya Agustinus, Thomas Aquinas dan Calvin.
2. Trinitas Dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru
A. Allah Dalam Perjanjian Lama
Kata “Trinitas” atau Tritunggal memang secara harafiah tidak terdapat dalam Alkitab. Trinitas menunjuk pada Allah yang Esa, Allah Anak yaitu Yesus Kristus sebagai Juruselamat dan Allah Roh Kudus. Marilah kita melihat Peranan Allah dalam tiga penyebutan di atas.
* Allah adalah Esa
Kej 1 mengajarkan bahwa Ia adalah pencipta segala sesuatu yang ada di langit dan di bumi. Ini membawa pengertian, bahwa Allah bukan saja Allah orang Israel, tetapi juga Allah segenap umat dan Hakim atas semua manusia. Yes 44:6-8, 45:20-21, 46:8-11 menegaskan bahwa Yahowa adalah Pencipta segala sesuatu dan Hakim atas segala sesuatu. Tidak boleh dipikirkan ada Allah lain. Ul 6:4:”Dengarlah, hai orang Israel, Tuhan itu Allah kita, Tuhan itu esa!”.
* Allah adalah Juruselamat
Kebenaran agung kedua yang terus-menerus ditekankan di seluruh Perjanjian Lama adalah, bahwa Yahowa adalah Allah Juruselamat. Kel 3:7-8:
“ Dan Tuhan berfirman: Aku telah memperhatikan dengan sungguh kesengsaraan umatKu di tanah Mesir, dan Aku telah mendengar seruan mereka yang disebabkan oleh pengerah-pengerah mereka, ya, Aku mengetahui penderitaan mereka. Sebab itu Aku telah turun untuk melepaskan mereka dari tangan orang Mesir.....”.
Mengapakah Allah mau turun merendahkan diriNya menyelamatkan bangsa Israel? Pertama, karena Ia telah mengikat dirinya dalam suatu janji untuk melakukannya (Kej 15); kedua, sebab Ia mengasihi bangsa yang jadi budak ini, walaupun pada bangsa ini sebenarnya tak ada unsur yang membuatnya patut dikasihi ataupun diindahkan, dan ketiga, sebab Ia ingin untuk memakai mereka sebagai alat untuk menyatakan diriNya sebagai Allah Juruselamat seluruh dunia.
* Allah adalah Roh
Kebenaran agung ketiga adalah bahwa Allah bertindak secara pribadi, menemui dan memperlakukan manusia secara pribadi dan perorangan. Penciptaan manusia terjadi melalui ‘Roh Allah’ (Kej.1:2), Ia menciptakan dengan RohNya (Ayub 33:4), Ia melakukannya dengan memberi mereka rohNya (1 Sam 10:10, Mi 3:8), dan dengan rohNya Ia berbicara kepada bangsaNya dengan perantaraan nabi-nabiNya (Neh 9:30). Jelaslah, bahwa Roh Allah bekerja dalam dan melalui kepribadian manusia. Ia memberi hidup, kekuatan dan kesanggupan untuk hidup sesuai dengan hukum Allah.
Satu hal penting lagi adalah, “Roh Tuhan” sangat menonjol dalam bagian-bagian Alkitab tentang “Pembebas” yang kedatanganNya dijanjikan. “Roh Tuhan” itulah yang akan memampukan Orang yang dinantikan itu (Yes.11:1-3), dan melalui Dia Roh Allah akan dicurahkan ke atas semua manusia (Yl 2:28-29).
B. Dalam Perjanjian Baru
Perjanjian Baru meneruskan dan menceritakan bagaimana Allah memenuhi janjiNya untuk menebus bangsaNya. Dalam Perjanjian Baru Allah tetap esa. Disini tidak ada perubahan, Ia tidak tiba-tiba menjadi tiga Allah. Waktu Yesus ditanya tentang perintah yang terutama, Ia sendiri memulainya dengan mengutip ayat klasik yang sudah pernah kita sebut,” Dengarlah, hai orang Israel, Tuhan Allah kita, Tuhan itu Esa” (Mrk 12:29, yang mengutip Ul 6:4). Paulus juga tetap mempertahankan, bahwa hanya ada satu Allah, terutama apabila ia berbicara tentang Allah dalam hubungannya dengan Yesus Kristus dan Roh Kudus. (Ef 4:6, 1 Tim 2,5).
Tentang Allah Juruselamat juga menonjol di seluruh Perjanjian Baru. Pada permulaan Injil Lukas, Maria dan Zakharia menyadari, bahwa dalam peristiwa-peristiwa yang tidak biasa ini Allah Juruselamatlah yang bekerja (Luk 1:47,54-55, 67-68). Dalam seluruh surat-surat kiriman Allah Bapa adalah Allah Juruselamat (1 Tim 1:1,2:3,4-10,Tit 1:3; 2:10; 3:4; Yud 25), yang telah berjanji untuk melawat dan menyelamatkan umatNya.
Allah tetap Roh, Yesus sendiri dengan tegas berkata demikian (Yoh 4:24); dan Allah masih tetap Allah yang dengan RohNya memberi hak kuasa kepada Yesus sendiri (Luk 4:18; yang mengutip Yes 61:1) dan semua pengikut Yesus (Kis 1:8; 2:17-21).
C. Yesus Kristus
Penggenapan tentang Mesias yang akan datang, yang dijanjikan, dan yang kedatanganNya dinanti-nantikan oleh Perjanjian Lama dinyatakan dalam Perjanjian Baru. Nubuat-nubuat itu mengatakan, bahwa Dia adalah seorang tokoh dari dunia ini, juga tokoh sorgawi. Dia adalah Raja yang menang atas musuh-musuhNya dan sekaligus Raja Damai (Yes 9:5-6; 11:1-4; Dan 7:13-14). Ia datang untuk menjadi juruselamat bangsa Yahudi (Mi 5:1-9)., dan juga untuk menjadi Juruselamat seluruh dunia (Yes 49:6; 53:12).
* SifatNya sama dengan Allah
Sebagai Pencipta, dalam Yoh 1:3:” Segala sesuatu dijadikan oleh Dia dan tanpa Dia tidak ada sesuatupun yang telah jadi dari segala yang telah dijadikan”.
Kol 1:16-17:” ....di dalam Dialah telah diciptakan segala sesuatu, yang ada di sorga dan yang ada di bumi, yang kelihatan dan yang tidak kelihatan, baik singgasana, baik kerajaan, baik pemerintah, maupun penguasa; segala sesuatu diciptakan oleh Dia dan untuk Dia. Ia ada terlebih dahulu dari segala sesuatu dan segala sesuatu ada di dalam Dia”.
Sebagai pemberi hidup kepada manusia, dalam Yoh.1:4:” Sebab sama seperti Bapa membangkitkan orang-orang mati dan menghidupkannya, demikian juga Anak menghidupkan barang siapa yang dikehendakiNya”.
Kristus disebut juga suci dan benar, kemuliaan sorgawi dan terang sorgawi (1 Kor 2:8; Yoh 17:5; Yes 40:5; Yoh 1:9), tanpa dosa (1Ptr 2:22; Ibr 4:15); selanjutnya, Yesus dikatakan Hakim atas dunia ini:
“Bapa tidak menghakimi siapapun, melainkan telah menyerahkan penghakiman itu seluruhnya kepada Anak”. (Yoh.5:22).
“Sebab kita semua harus menghadap takhta pengadilan Kristus....” (2 Kor 5:10).
“Di hadapan Allah dan Kristus Yesus yang akan menghakimi orang yang hidup dan yang mati, Aku berpesan dengan sungguh-sungguh kepadamu...” (2 Tim 4:1).
Yesus Kristus sama seperti Allah, menjadi yang disembah oleh seluruh ciptaan:
Flp 2:10-11:” Supaya dalam nama Yesus bertekuk lutut segala yang ada di langit dan yang ada di atas bumi dan yang ada di bawah bumi, dan segala lidah mengaku:”Yesus Kristus adalah Tuhan”, bagi kemuliaan Allah Bapa”.
Why 5:13-14:” Dan Aku mendengar semua makhluk yang di sorga dan yang di bumi dan yang di bawah bumi dan yang di laut dan semua yang ada di dalamnya, berkata: Bagi Dia yang duduk di atas takhta dan bagi Anak Domba, adalah puji-pujian dan hormat dan kemuliaan dan kuasa sampai selama-lamanya!” Dan keempat makhluk itu berkata:”Amin”, Dan tua-tua itu jatuh tersungkur dan menyembah”.
Kol 2:9:” Dalam Dialah berdiam secara jasmaniah seluruh kepenuhan ke Allahan”.
* Yesus adalah Juruselamat Dunia
Ia lahir untuk maksud yang tegas, yaitu menyelamatkan manusia dari dosa (Mat 1:21); Ia mati di kayu salib justru untuk maksud ini (1 Ptr 2:24). Ia melakukan untuk manusia sesuatu yang mustahil dapat dilakukan oleh manusia untuk dirinya sendiri; Ia mematahkan kuasa dosa, memperdamaikan manusia dengan Allah, dan memberi manusia kemampuan untuk hidup di jalan yang berkenan kepada Allah. Paulus menyatakan kebenaran besar waktu ia berkata:” Allah mendamaikan dunia dengan diriNya oleh Kristus”. (2 Kor 5:19).
Waktu Yesus diadili, Imam Besar bertanya, apakah Ia Mesias, Yesus menjawab:” Akulah Dia”.
* Yesus adalah Tuhan
Flp 2:10-11:” Supaya dalam nama Yesus bertekuk lutut segala yang ada di langit dan yang ada di atas bumi dan yang ada di bawah bumi, dan segala lidah mengaku:” Yesus Kristus adalah Tuhan”, bagi kemuliaan Allah, Bapa”.
1 Kor 12:3:” Tak ada seorangpun, yang dapat mengaku:” Yesus adalah Tuhan”, selain oleh Roh Kudus”.
1 Kor 8:4-6:” .....kita tahu:.....tidak ada Allah lain daripada Allah yang esa....bagi kita hanya ada satu Allah saja, yaitu Bapa, yang daripdaNya berasal segala sesuatu dan yang untuk Dia kita hidup, dan satu Tuhan saja, yaitu Yesus Kristus, yang olehNya segala sesuatu telah dijadikan dan yang karena Dia kita hidup”.
D. Roh Kudus
Tuhan Yesus memberi kesaksian tentang Oknum dan tugas Roh Kudus, yang mengacu pada pemberitahuan bahwa pelayananNya sudah mendekati akhirnya (Yoh 15:26). Ia menyebut Roh sebagai Roh yang datang dari Allah Bapa dan yang juga datang dari Dia (Yesus) sendiri. Inilah dasar ajaran, bahwa Roh Kudus keluar dari dua Oknum, yaitu dari Bapa dan Anak.
* Roh Kudus adalah Oknum tersendiri dan bersifat tersendiri
Perjanjian Baru dengan tegas menyatakan bahwa Roh Kudus berpribadi. Sifat-sifat pribadi Roh Kudus: Ia mempunyai intelek dan pengertian (1 Kor 2:10-13); Ia mempunyai pikiran (Rm 8:27; Kis 15:28); Ia mempunyai perasaan (Yes 63:10; Ef 4:30); dan Ia mempunyai kehendak (1 Kor 12:11).
Tindakan Pribadi yang dilakukan Roh Kudus: Ia berbicara (Kis 8:29; 13:2; 1 Tim 4:1); Ia mengajar (Yoh 14:26); Ia tinggal bersama orang-orang percaya (Yoh 14:16-17); Ia akan memenuhi orang-orang percaya (Kis 2:4; Ef 6:18); dan Ia akan membimbing orang-orang percaya (Gal 5:18); Ia dikirim dari Bapa atas nama Kristus (Yoh 14:26; 15:26). Ia turun ke atas Yesus Kristus waktu Ia dibaptiskan (Mrk 1:10). Ia memimpin Kristus ke padang gurun (Mrk 1:12).
* Roh Kudus adalah Allah
Dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru Roh Kudus disebut mempunyai semua sifat Allah seutuhnya. Ia adalah mahakuasa (Mi 3:8; Kis 1:8; Rm 15:13,19), mahatahu (1 Kor 2:10); hadir di mana-mana (Mzm 139:7), Ia adalah pemberi hidup, dan yang membangkitkan orang-orang mati (Ayb 33:4; 1 Ptr 3:18), dan Ia dilukai oleh dosa manusia (Mrk 3:29; Kis 5:3-4).
Kata-kata sifat yang dipakai untuk Roh ialah kata-kata yang dipakai untuk Allah. Roh itu suci (Mzm 51:11; Yes 63:10; Luk 11:13; Ef 4:30; 1 Tes 4:8); Ia adalah Roh kebenaran (Yoh 14:17; 15:26; 16:13); Ia adalah Roh anugerah (Ibr 10:29); Ia adalah Roh kemuliaan (1 Ptr 4:14).
Pencurahan Roh Kudus pada hari Pentakosta lebih menonjolkan lagi “kedirian” Roh Kudus. Petrus, dalam menerangkan peristiwa Pentakosta, menggambarkannya sebagai pekerjaan Allah Tritunggal (Kis 2:32-33). Gereja zaman Rasul dibangun beralaskan kepercayaan pada Allah Bapa, Anak dan Roh Kudus. Semua surat Rasuli sepakat mengaitkan penebusan kepada Tritunggal, dan tiap Oknum tampil sebagai tujuan penyembahan dan pemujaan. “Kasih karunia Tuhan Yesus Kristus, dan kasih Allah Bapa, dan persekutuan Roh Kudus....” (2 Kor 13:13) tidak hanya menyimpulkan seluruh ajaran para Rasul, tapi juga menerangkan makna yang lebih dalam dan hakiki dari Allah Tritunggal dalam pengalaman hidup Kristen, yakni kasih karunia yang menyelamatkan dari Anak sebagai yang membuka pendekatan pada kasih sayang Allah Bapa dan persekutuan Roh Kudus.
3. Perumusan Tritunggal/Trinitas
* Satu Allah – Tiga Oknum
Ada tiga fakta dasar yang menunjukkan bahwa Allah Bapa, Yesus Kristus, dan Roh Kudus bukanlah Oknum yang sama dengan tiga bentuk.
3.1 Yesus Kristus berbeda dari Allah Bapa.
Yesus Kristus dengan tegas disebut “Anak Allah”. Hal ini menunjukkan dengan jelas, bahwa Allah Bapa dan Yesus Kristus bukanlah ‘oknum’ yang sama. Hal ini tampak pada 1 Tim 1:1-2:” Dari Paulus, Rasul Yesus Kristus menurut perintah Allah, Juruselamat kita, dan Kristus Yesus, dasar pengharapan kita, kepada Timotius, anakku yang sah dalam iman: kasih karunia, rahmat dan damai sejahtera dari Allah Bapa dan Kristus Yesus, Tuhan kita, menyertai kamu”.
Banyak juga kata-kata yang dipakai untuk menggambarkan perbuatan dan diri Yesus yang tegas tidak memperbolehkan kita menyamakan Oknum Yesus dengan Allah Bapa. Yesus berdoa kepada Allah Bapa (Luk 23:34,46; Yoh 11:41; 17:1; Ibr 5:7). Ia tidak mengetahui hal-hal yang diketahui oleh Allah Bapa (Mrk 13:32). Ia diutus oleh Bapa (Yoh 8:42; 17:3); atau dikaruniakan oleh Bapa (Yoh 3:16), melakukan kehendak Bapa (Luk 22:42), Ia mengasihi Bapa (Yoh 14:31), atau dikasihi olehNya (Yoh 16:10,28), Ia takluk di bawah Bapa (1 Kor 15:28).
3.2. Roh Kudus berbeda dari Allah Bapa.
Roh Kudus adalah suatu pribadi tersendiri, walaupun Ia Allah sepenuhnya, namun keduanya selalu disebut secara terpisah dan diperlakukan sebagai oknum-oknum terpisah. Dalam Perjanjian Baru kita baca bahwa Dialah yang tahu hal-hal dan pikiran Allah yang dalam (1 Kor 2:10-11); Ia berdoa kepada Allah bagi kita (Rm 8:26); Ia diutus dari Allah kepada kita (Yoh 14:26), dan dari Yesus Kristus (Yoh 16:7); dan sekarang sesudah Ia turun ke dunia ini, Ia bicara bukan atas otoritasnya, tapi atas otoritas Allah dan Ia memuliakan Kristus (Yoh 16:13-14).
3.3. Yesus Kristus berbeda dari Roh Kudus
Pengertian ini sudah terkandung dalam apa yang sudah dijelaskan di atas. Roh Kudus turun ke atas Kristus waktu Ia dibaptiskan (Mrk 1:10); dan memberi kuasa kepadaNya untuk melakukan pekerjaann\Nya (Luk 4:18). Juga dengan perantaraan Roh Kudus, Kristus dibangkitkan dari antara orang mati (1 Ptr 3:18). Yesus mengutus Roh Kudus pada murid-muridNya (Yoh 16:7), dan Roh Kudus memuliakan Yesus (Yoh 16:14).
4. Analisa Praksis Tentang “Trinitatis” Dalam Konteks Masyarakat Indonesia
4.1. Trinitas Sebagai Penyataan Allah
Penting untuk disadari bahwa ungkapan seperti Tritunggal dalam keesaan pertama-tama bukan ungkapan bersifat filsafat ataupun metafisis. Itu adalah ungkapan yang didasarkan pada penyataan historis. Orang terpaksa merumuskan doktrin tentang Tritunggal, sebab kenyataan-kenyataan sejarah ini tak dijelaskan dengan cara lain manapun juga.
*Jika Allah dapat dimengerti sepenuhnya, maka Ia bukan lagi Allah. Dalam setiap zaman orang disesatkan kepada ajaran dan kepercayaan palsu, sebab mereka mengira dapat memegang Allah. Orang selalu mencoba membuat cocok dengan pikiran dan definisi manusia. Seharusnya kita tahu, bahwa hal itu tak dapat dilakukan. Tritunggal adalah bukti bahwa manusia tak dapat membuat Allah menurut gambarannya sendiri.
* Allah tidak pernah memberi kita keterangan tentang diriNya hanya untuk memuaskan rasa ingin tahu kita. Semua yang perlu kita ketahui tentang Dia dalam hidup ini sudah diberitahukannya kepada kita. Pada suatu hari kelak, kita percaya bahwa kita akan melihat Allah, dan Allah akan membuka mata kita yang buta, dan pada waktu itulah kita mengerti sepenuhnya. Dalam pada itu kita hidup oleh iman dan bersandar pada apa yang telah ditunjukkan oleh Allah pada kita.
* Pada akhirnya kita harus mengakui bahwa kita tak dapat mendiskusikan Allah. Kita hanya dapat bertemu dengan Dia, mengalami dan mematuhi Dia. Bilamana kita mempercayakan diri padaNya, kita akan mengalami pengalaman yang sama seperti dialami penulis-penulis Perjanjian Baru, dan mendapati Dia sebagai Bapa, sebagai Juruselamat, dan sebagai Tuhan yang hidup.
* Kristus sepenuhnya Allah dan sepenuhnya juga manusia. Ia lahir sebagai bayi manusia, menjadi besar dan berkembang dalam hal fisik, mental dan rohani secara manusia biasa. Ia mengenal setiap pengalaman manusia biasa, kecuali dosa (1 Ptr 2:22); Ia mengenal lapar (Mat 4:2), lelah (Yoh 4:6) dan kesedihan (Yoh 11:33-36). Ia mengenal marah (Mat 23:13-36; Mrk 3:5), dan sukacita (Luk 10:21). Ia mengenal pergumulan pikiran yang paling dahsyat (Luk 22:44, Mrk 14:34). Ia mengenal kesakitan dan penderitaan paling hebat (Mrk 15:22-24). Ia mengalami sepenuhnya kematian seperti manusia (Mrk 15:37). Pikiran dan tubuhNya, seluruh kepribadianNya adalah sepenuhnya manusia, mulai dari kelahiran sampai pada kematian. Hanya karena Yesus Kristus adalah sepenuhnya Allah dan sepenuhnya manusia, maka Ia dapat menjadi Juruselamat dunia.
4. 2. Memahami Trinitas Lebih Dalam
Rowan Williams, dalam tulisannya “Tritunggal dan Pluralisme” lebih dalam mengupas tentang trinitas. Demikian kutipannya:
“Saya percaya bahwa doktrin Tritunggal tentang Allah mempermudah tanggapan autentik Kristen terhadap agama-agama dunia, karena doktrin tersebut sepenuhnya menanggapi partikularitas sejarah dengan sungguh-sungguh. Ini disebabkan karena doktrin tersebut mengukuhkan bahwa Allah telah menyingkapkan diriNya dalam peristiwa dan partikularitas pribadi Yesus. Tetapi Tritunggal juga mengukuhkan , melalui kedua pribadi lainnya, bahwa Allah terus-menerus menyatakan diriNya melalui perantaraan Roh Kudus. Sang Bapa dikenal melalui Kristus dan Roh, dan hanya berdasarkan partikularitas inilah kita mampu mengukuhkan perantaraan universal aktivitas penebusan Allah. Karena, Allah yang menebus itu selalu, dan dimana-mana, merupakan Allah Tritunggal yang dinyatakan dalam Kristus. Dengan demikian, melalui Kristuslah kita menjumpai Allah Tritunggal, yang membuat diriNya dikenal sebagaimana adanya: “Sebagai misteri tertinggi dan penuh kemurahan (Allah Bapa), dalam Firman yang menjadi manusia (Anak), serta dalam kehadiran Allah yang menetap, profetis dan menguduskan (roh)”.
Lebih lanjut Williams mengatakan, bahwa iman seseorang tidak dapat diidealkan atau direitifikasikan berdasarkan realitas sosial historis yang membentuknya. Ia menguraikan usul-usulnya dengan mengemukakan lima hal:
Pertama, Kristologi Trinitariann memberikan perlindungan terhadap eksklusivisme dan pluralisme dengan menghubungkan secara dialektis yang universal dan partikular.
Kedua, pneumatologi memungkinkan partikularitas Kristus dihubungkan dengan aktivitas universal Allah dalam sejarah umat manusia.
Ketiga, pemahaman Tritunggal yang Kristosentris menyingkapkan hubungan penuh kasih sebagai cara keberadaan yang tepat. Jadi semua orang Kristen wajib mengasihi sesama (termasuk orang-orang Hindu, Budha, Islam dan yang lainnya).
Keempat, normativitas Kristus mencakup normativitas kasih yang mempersembahkan diri melalui penyaliban. Praksis dan dialog.
Kelima, gereja berada di bawah penghakiman Roh Kudus, dan bila Roh Kudus aktif dalam agama-agama dunia, maka berbagai agama dunia itu penting bagi kesetiaan Kristen.
Akhirnya Williams menyimpulkan, bahwa orang Kristen harus mendengarkan agama-agama lain, agar bisa setia terhadap agama mereka sendiri. Dengan adanya berbagai agama, pada kenyataannya memang membuka mata orang Kristen terhadap berbagai cara Allah bertindak dalam sejarah. Bila ternyata terjadi pembohongan dan perlawanan terhadap Kabar Baik, maka orang Kristen harus mempertanyakan dan menantang agama-agama dunia. Orang Kristen harus mempertahankan peranan satu-satunya yang sahih: melayani Allah dan sesama dalam memberitakan dan menjalani Kabar Baik yang telah diberikan kepadanya.
4. 3. Kesenjangan antara Kristen dan Islam di Indonesia
Ilmu pengetahuan boleh tetap berkembang, tetapi dasar iman adalah tetap, yaitu Firman Allah dalam Alkitab dan Yesus Kristus. Orang lain boleh memakai dasar yang lain untuk dasar imannya, tetapi Yesus telah berkata, hanya melalui diriNya seseorang memperoleh keselamatan. Hal ini cukup diimani, bukan untuk dipertentangkan, terlebih-lebih dengan Islam, yang tidak akan pernah mempunyai titik temu. Mungkinkah mencari titik temu antara agama Islam dan Kristen, seperti disebutkan dalam pendahuluan di atas? Terdapat ganjalan-ganjalan untuk mencapai titik temu tersebut, seperti ganjalan teologis, sosial dan politis. Ganjalan yang berupa teologis adalah:
Pertama, cara pandang orang Kristen terhadap Alkitab yang sangat berbeda dengan cara pandang orang Islam terhadap Alquran dan cara pandang orang Islam terhadap Alkitab membuat penjelasan orang Kristen tentang Allah-nya sulit dipahami oleh orang Islam. Agama Islam memandang Alkitab Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru sebagai yang tidak utuh dan tidak sempurna lagi, sebagian telah disembunyikan, dihilangkan dan dipalsukan oleh orang Yahudi dan Kristen. Mereka memandang Alquran sebagai kitab yang asli, karena langsung turun dari Lawh Al Mahfus. Sedangkan orang Kristen sering memandang Alquran seperti memandang Alkitabnya sendiri, artinya, pewahyuan itu adalah pewahyuan yang organis, bukan yang mekanis.
Yang kedua, orang Islam sulit menerima ke-Allahan Yesus Kristus. Islam hanya menerima bahwa Yesus adalah Nabi Isa, salah seorang Kalam Allah, dan dapat melakukan berbagai mujizat, tetapi Islam tidak menerima dan tidak mempercayai Kematiannya di kayu Salib, dan otomatis juga tidak mengakui dan tidak menerima KebangkitanNya. Menerima kebangkitanNya berarti menerima pula ke-AllahanNya. Lebih-lebih ketika kematian di kayu Salib dihubungkan dengan penebusan dosa umat manusia. Penebusan dosa seseorang harus dibayar dengan amal saleh orang yang bersangkutan.
Yang ketiga, Pengakuan Iman umat Islam, bahwa tiada Tuhan selain Allah, adalah pengakuan yang mutlak dan tidak dapat diganggu gugat. Hakekat Allah dalam Alquran (Surah 112),” Katakanlah, Ia adalah Allah yang Esa, Pelindung yang kekal, yang tidak melahirkan dan tidak dilahirkan, dan tak ada manusia yang sepadan dengan Dia”. Dengan pengakuan tersebut Islam mutlak menolak politeisme dengan segala macam bentuknya, apakah itu dalam arti Triteisme maupun dalam arti Trinitas.
Ganjalan sosial dan politis adalah yang dimulai sejak zaman penjajahan Belanda, yang selalu diidentikkan dengan Kristen. Oleh karena itu, hubungan Islam-Kristen sering kali digambarkan sebagai hubungan yang terjajah dengan yang dijajah. Pada zaman Orde Lama, penolakan Piagam Jakarta oleh umat Kristen pada tahun 1945 merupakan salah satu faktor penting dalam kendala politik hubungan umat Islam dengan umat Kristen. Pada era Orde Baru, kendala politik dipertajam oleh kenyataan, bahwa terjadi marginalisasi golongan Islam oleh pihak penguasa, kegiatan menghidupkan Masyumi ditolak, pembentukan partai Islam baru ditolak, teknokrat beragama Kristen dipercaya menduduki posisi penting dalam kabinet, pertambahan jumlah warga gereja agak mencolok pasca Gerakan 30 September 1965, dan maraknya proyek sosial ekonomi gereja-gereja dengan bantuan dana luar negeri sejak awal tahun 1970-an. Golongan Islam berhasil membuat Pemerintah menrbitkan Surat Keputusan Menteri Agama No.70/1978 tentang Pedoman Penyiaran Agama, dan no.77/1978 tentang Bantuan Luar Negeri Kepada Lembaga Keagamaan di Indonesia, yang jelas-jelas diarahkan kepada pihak Kristen. Pihak Islam juga berhasil mengedepankan konsep UU Perkawinan sesuai hukum agama Islam, juga berhasil menggagalkan Sidang Raya ke-V Dewan Gereja-gereja se-Dunia (DGD) tahun 1975 yang seyogianya dilaksanakan di Jakarta dan telah disetujui Pemerintah. Dan puncaknya adalah pembentukan Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) dalam jajaran kabinet, birokrasi dan legislatif, yang mengesankan golongan Islam makin berhasil mencapai cita-cita politiknya.
Yang terakhir, yang sangat mencolok adalah, perasaan bahwa golongan Islam adalah kaum terbesar di negara ini, Kristen minoritas, menjadikan golongan Islam dianggap memiliki arti yang cukup besar dalam pengambilan keputusan negara.
4. 4. Menciptakan Kerukunan Beragama di Indonesia (Dalam Dialog)
Dari keterangan sederhana di atas, mengkontekstualisasikan “Trinitas” di Indonesia bukanlah hal yang mudah. Berbicara mengenai Trinitas adalah berbicara mengenai iman Kristen yang sangat hakiki, substansial dan Alkitabiah. Dalam keberadaannya di tengah-tengah pluralitas agama, banyak teolog yang setuju untuk menciptakan kerukunan beragama melalui perjumpaan dialog.
*) Emha Ainun Najib dalam tulisannya berjudul “Dialog antar Agama dan batas-batasnya” bertutur demikian: Suatu kali saya pernah mengajukan guyonan di depan para Pastor tentang seorang Haji yang merasa bersalah karena satu diantara tiga anaknya masuk Kristen. Pak Haji mengadukan nasibnya dan menangis di depan Tuhan. Tetapi secara mengejutkan Tuhan menjawab:” Kamu masih untung punya tiga anak, hanya satu masuk Kristen. Sedangkan anak-Ku satu-satunya masuk Kristen”.
Lebih lanjut Emha mengatakan mungkin agak ragu-ragu dengan tawaran dialog pada tataran agama subyektif atau teologis. Karena agama adalah aqidah atau iman yang tidak bisa ditawar-tawar. Dan setiap orang merasa agamanya yang paling benar. Boleh berdialog, tetapi dengan syarat, seberapa jauh aurat dapat dibuka. Emha memberikan tiga tawaran untuk berdialog, pertama, berpikir ulang untuk berdialog, karena tatanan umat beragama masih pada tatanan simbolok, kedua, menjaga jarak antar umat beragama dan melatih diri untuk perbedaan, ketiga, menawarkan bentuk dialog kultural, bukan dialog teologis.
*) M. Quraish Shihab dalam tulisannya “ Reaktualisasi Dialog Antar Agama”, mengatakan, jalinan persaudaraan antara seorang muslim dan non-muslim sama sekali tidak dilarang oleh Islam, selama hak-hak kaum muslimin tetap dihormati.
“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan memberikan sebagian hartamu terhadap orang-orang yang tidak memerangi kamu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang adil” (Q.S. 60:8).
*) A. A. Yewangoe, dalam tulisannya “Agama dan Kerukunan”, mengatakan, dialog sangat diperlukan untuk memelihara kerukunan beragama. Alkitab berbicara tentang manusia sebagai citra Allah (Imago Dei). Ini berarti bahwa siapapun dia, tanpa memandang agama dan asal-usulnya hendaklah dipandang sebagai saudara. Persaudaraan umat manusia yang telah rusak akibat dosa dipulihkan oleh Yesus. Ketika kita menolong sesama, kita tidak lagi mempersoalkan apa agamanya, tetapi apakah ia menderita dan bagaimana cara menolongnya.
*) Romo Mangun menekankan perlu sekali membedakan agama dengan iman. Iman adalah lebih inti, lebih essensial kalau dibandingkan dengan agama formal, ia menyangkut hubungan kita yang sangat dekat dengan Tuhan, manusia dan alam semesta, sedangkan luarnya hanya mengenai tata-caranya. Karena itu, kalau kita masih bersengketa mengenai agama dalam soal lahiriahnya, maka hal itu merupakan suatu kemunduran.
*) Jurgen Moltmann mengatakan dalam pengalamannya “ seseorang tidak kehilangan identitasnya dalam dialog, tetapi memperoleh pemahaman yang lebih baik dan lebih mendalam mengenai identitasnya sendiri”. Demikian pula, seseorang ‘tidak lagi melihat dirinya dengan gambaran indah dengan matanya sendiri melainkan belajar melihat dirinya dengan mata kritis orang lain. Ia mengusulkan dialog itu memang tepat dan penting apabila ada situasi bersama yang mengancam kehidupan.
*) Eka Darmaputera mengatakan:” perbedaan-perbedaan religius tidak dilihat semata-mata sebagai sesuatu yang tak terelakkan pada aras praktis, melainkan sebagai sesuatu yang bermakna dan penting pada aras teologis. Kehadiran dan eksistensi mereka yang beragama lain dipahami tidak semata-mata sebagai realitas sosial namun juga sebagai fenomena teologis. Dengan kata lain, itu harus dihadapi secara teologis pula”.
Penutup/Refleksi
Seberapa dalam dan seberapa jauh kita berusaha untuk menerangkan atau menyimpulkan keberadaan Allah sebagai Allah Tritunggal, tetap saja tidak dapat kita katakan bahwa kita telah mendapatkan kesimpulan yang memuaskan atau menyelesaikan persoalan di seputar Allah Tritunggal. Yang dapat kita lakukan hanyalah berusaha semampu kita di dalam doa dan kerendahan hati memohon kepada Tuhan, agar kepada kita diberikan “pengertian” oleh Tuhan tentang apa yang ingin kita cari, sehingga kita dapat dengan berhikmat membagikannya kepada orang lain yang bertanya dan yang juga mencari jawab atas doktrin Allah Tritunggal, sejauh dan sebesar apa Tuhan memberitahukannya pada kita, baik melalui usaha dengan “mempelajarinya” melalui buku-buku, atau pengalaman langsung secara rohani dengan Tuhan, dan melalui pergumulan hidup sehari-hari, dimana kita memang hidup di dalamnya.
Menciptakan teologi kristen bersama yang bisa diterima oleh semua aliran agama sulit tercapai. Karena itu sikap yang baik adalah memperkembangkan terus-menerus teologi pluralis dialogal seperti:
a. Dengan banyaknya agama-agama akan membuat semakin banyak orang yang mencari kebenaran, semakin banyak orang berusaha menjadi orang beriman.
b. Belajar kelebihan agama orang lain, menumbuhkan sikap saling pengertian dan saling memahami dan menerima, tanpa meninggalkan prinsip-prinsip kekristenan.
c. Setiap agama mempunyai kekhasannya sendiri, kita harus menghargai dan menghormati iman agama orang lain tanpa mereduksi iman mereka atau iman kita sendiri atau melebur jadi satu dengan yang lain.
Tuhan Yesus memberkati.
Kepustakaan:
• Crossley, Robert, Tritunggal Yang Esa, Terjemahan The Holy Trinity, Nasution, ThM HP, Yayasan Komunikasi Bina kasih/OMF, Jakarta1987
• Ensiklopedi Alkitab Masa Kini, Jilid II, Cetakan ke 6, Yayasan Komunikasi Bina Kasih/OMF, Jakarta, 2002.
• Harun, Hadiwijono, Iman Kristen, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1973
• ______________, Apa dan Siapa Tuhan Allah, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1974
• ______________, Inilah Sahadatku, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 2001
• Walvoord F Jhon, Yesus Kristus Tuhan Kita, Terjemahan oleh R Cahya, Penerbit Yakin, Surabaya, 1969.
• Niftrik van GC dan Boland BJ, Dogmatika Masa Kini, BPK, 1967
• Hesselgrave, J. David; Edward Rommen, “Kontekstualisasi, Makna, Metode dan Model”, BPK Gunung Mulia, Jakarta, Ctakan ke-5, 2006.
• Tim Balitbang PGI, “Meretas Jalan Teologi Agama-agama di Indonesia ”, BPK Gunung Mulia, Cetakan ke-4, 2007
• Seri Dian I/Tahun I, “Dialog: Kritik dan Identitas Agama”, Penerbit Dian/Interfidei, Yogyakarta, Cetakan I, 1993.
• Yewangoe, A. A., “Agama dan Kerukunan”, Jakarta, BPK Gunung Mulia, Cetakan ke-3, 2006.
• D’Costa, Cavin, “Mempertimbangkan Kembali Keunikan Agama Kristen”, Jakarta, BPK Gunung Mulia, Cetakan ke-1, 2002.
• Darmaputera, Eka, “Pergulatan Kehadiran Kristen di Indonesia”, Jakarta, BPK Gunung Mulia, Cetakan ke-2, 2005.
4) Ensiklopedi Alkitab Masa Kini, Jilid II, Yayasan Komunikasi Bina Kasih/OMF, cetakan ke 6, hal. 490-492
2). Robert Crossley, “Tritunggal Yang Esa”, Terjemahan Nasution ThM, HP, Yayasan Komunikasi Bina Kasih/OMF, hal. 3-11
2). Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu,Sebuah Pengantar Populer, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1998), cet. I, hal. 324.
3). Wihadi Admojo, Kamus Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1998), cet. I, hal. 324.
1) Adelbert A Sitompul, Injil dan Tata Hidup, Kata Pengantar, STT HKBP, Pematang Siantar, 2000, hl. xiii
2) H Venema, Hidup Baru, Yayasan Komunikasi Bina Kasih/OMF, 2006, hal. 37
3). Ensiklopedi Alkitab Masa Kini, hal. 618-619
Bahan Bacaan:
* 1)David J. Hesselgrave, Edward Rommen, “Kontekstualisasi, Makna, Metode dan Model”, BPK Gunung Mulia, Jakarta, Ctakan ke-5, 2006, 279.
*2) Martin L. Sinaga, “Pendahuluan” dalam ‘Meretas Jalan Teologi Agama-agama di Indonesia’ ”, Tim Balitbang PGI, BPK Gunung Mulia, Ctakan ke-4, 2007, 7
*3) Zakaria J. Ngelow, “Islam dan Kristen Dalam Politik di Indonesia” dalam ‘Meretas Jalan Teologi Agama-agama di Indonesia’ ”, Tim Balitbang PGI, BPK Gunung Mulia, Ctakan ke-4, 2007, 127-128
*4) Sinaga, Opcit, 8
*5) Seri Dian I/Tahun I, “Dialog: Kritik dan Identitas Agama”, Penerbit Dian/Interfidei, Yogyakarta, Cetakan I, 1993, 160.
*6) Ibit, 161.
*7) M. Quraish Shihab, “Reaktualisasi dan Dialog Antar Agama” ” dalam ‘Meretas Jalan Teologi Agama-agama di Indonesia’ ”, Tim Balitbang PGI, BPK Gunung Mulia, Ctakan ke-4, 2007, 140.
*8) A. A. Yewangoe, Agama dan Kerukunan, Jakarta, BPK Gunung Mulia, Cetakan ke-3, 105.
*9) Ibit, 107.
*10) Ibit, 94-95.
*11) Cavin D’Costa, “Mempertimbangkan Kembali Keunikan Agama Kristen”, Jakarta, BPK Gunung Mulia, Cetakan ke-1, 2002, 19-20.
*12), Ibit, 48-68.
*13) Eka Darmaputera, “ Pergulatan Kehadiran Kristen di Indonesia”, Jakarta, BPK Gunung Mulia, Cetakan ke-2, 2005, 89-90.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar